Media, Targetbuser86.com- Kampar- 05/7/2025 Gendut, begitulah ia akrab dipanggil oleh warga kampung. Tubuhnya bulat, kulitnya legam karena terbakar matahari, dan ia selalu berkeringat karena kerja keras di bawah terik. Sehari-hari, ia tampak seperti pengangguran, hanya mondar-mandir membawa cangkul dan ember tua yang sudah penyok. Namun, tidak banyak yang tahu, di balik penampilan kasarnya, Gendut sedang berjuang keras untuk mengubah nasibnya.
” Ia sering berada di sungai kecil yang mengalir di pinggir hutan, menggali tanah dan menyaring pasir dengan penuh harap. Sudah bertahun-tahun ia melakukannya tanpa hasil berarti. Tetangga bahkan mulai mengejeknya, menyebutnya si “gila pencari harta karun.” Tapi Gendut tidak peduli. Dalam hatinya, ia yakin kerja keras yang tulus tidak akan sia-sia.
“Setiap pagi ia bangun lebih cepat dari ayam, membawa bekal sederhana: nasi, sambal, dan air putih. Dengan alat seadanya—cangkul, dulang bambu, dan sepasang tangan yang kasar—ia mulai menggali. Ia mencuci pasir demi pasir, meneliti setiap serpihan kecil dengan harapan menemukan setitik emas. Hari berganti hari, bulan berganti bulan, tahun berganti tahun. Rasa lelah dan kecewa sempat singgah, tapi tidak pernah benar-benar menghentikannya. Ia terus bekerja dalam diam, sementara dunia sibuk mengolok.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
“Sampai suatu sore yang tampak seperti hari-hari lainnya, saat matahari mulai tenggelam dan langit perlahan berubah jingga, Gendut merasakan sesuatu yang berbeda. Cangkulnya membentur benda keras. Tapi kali ini bukan batu biasa. Ia menggali perlahan, lebih hati-hati dari biasanya. Matanya terbelalak saat lapisan tanah terakhir tersingkap.
“Sebuah bongkahan besar, berwarna kuning menyilaukan, mulai terlihat. Ia membersihkannya dengan tangan gemetar. Berat. Dingin. Berkilau. Tanpa sadar, ia mulai menangis. Air mata bercampur lumpur mengalir di pipinya. Ia mengangkat bongkahan itu dengan kedua tangan. Ini emas. Bukan serpihan kecil seperti yang biasa ia temukan. Tapi bongkahan emas seukuran dadanya sendiri.
“Ia terjatuh sambil memeluk bongkahan itu erat-erat, tubuhnya menggigil karena perasaan campur aduk antara bahagia, tak percaya, dan syukur yang luar biasa. Ia menangis terisak, memeluk emas itu seperti seorang anak yang akhirnya bertemu ibunya setelah lama hilang. Ini bukan mimpi. Ini kenyataan. Tahun-tahun penuh keringat, hinaan, dan pengorbanan akhirnya terbayar lunas.
“Gendut tidak langsung pulang malam itu. Ia duduk di tanah yang basah, memandangi emas itu dengan tatapan kosong yang dipenuhi rasa syukur. Langit gelap, tapi sinar bulan seolah menyinari bongkahan emas, memantulkan harapan dan kemenangan. Dalam hening malam, ia berbicara dengan Tuhan. Bukan dengan suara keras, tapi dengan hati yang penuh rasa terima kasih.
“Keesokan harinya, ia membawa sebagian kecil dari emas itu ke kota. Di sana, ia menemui pedagang logam mulia yang langsung membelalak melihatnya. “Ini… dari mana kamu dapat ini?” tanya si pedagang. Gendut hanya tersenyum kecil, “Dari tanah, tempat aku bekerja siang malam.”
“Nilai bongkahan itu ditaksir miliaran rupiah. Tapi Gendut tidak langsung menjual semuanya. Ia pulang ke kampung, menyimpan emas itu dengan aman, dan merenung. Uang memang penting, tapi ia tidak ingin menjadi tamak. Ia tahu, emas sejati bukan yang bisa digenggam, tapi nilai dari kerja keras dan harga diri.
“Kabar penemuan emas oleh Gendut tersebar cepat di kampung. Orang-orang yang dulu mencibirnya kini berbondong-bondong datang, memuji, dan bahkan pura-pura bersahabat. Tapi Gendut tidak berubah. Ia tetap sederhana, rendah hati, dan lebih memilih diam dibanding membalas cibiran masa lalu.
“Tak lama, Gendut mengadakan syukuran kecil. Ia memasak makanan untuk anak-anak yatim dan membagikan sembako kepada keluarga miskin. “Rezeki ini bukan hanya milik saya,” katanya sambil tersenyum, “Tuhan memberi saya lebih, agar saya bisa berbagi.”
“Dengan sebagian uangnya, Gendut membangun rumah kecil untuk ibunya di kampung sebelah. Ia juga memperbaiki jalan rusak dan membangun tempat belajar gratis untuk anak-anak desa. Ia mulai dikenal sebagai sosok dermawan. Anak-anak memanggilnya “Paman Gendut,” bukan karena tubuhnya, tapi karena hatinya yang besar.
“Wartawan mulai berdatangan, mewawancarainya. Kisah hidupnya dimuat di koran, majalah, dan televisi. Tapi Gendut tetap memakai baju lusuh, tetap menggali tanah—bukan untuk mencari emas, tapi membersihkan lingkungan. Ia tahu emas bisa habis, tapi perbuatan baik akan hidup lebih lama.
“Ia mulai menulis buku sederhana berjudul “Di Balik Lumpur, Ada Emas”. Buku itu laris dan menjadi bacaan wajib di sekolah-sekolah desa. Nama Gendut menjadi simbol perjuangan. Ia diundang ke seminar-seminar, memberi motivasi. Tapi ia selalu datang dengan sandal jepit dan senyum hangat. “Saya bukan orang kaya,” katanya, “saya hanya orang yang sabar.”
“Kisahnya menyentuh hati ribuan orang. Ia menunjukkan bahwa kerja keras, ketekunan, dan keyakinan bisa mengalahkan segalanya. Ia membuktikan bahwa bahkan dari lumpur yang paling kotor, bisa muncul emas yang paling murni.
“Kini, Gendut bukan sekadar nama panggilan. Ia adalah legenda hidup. Tapi ia tetap tinggal di rumah kayu kecil di kampung, bangun pagi, dan minum kopi dari gelas email. Karena bagi Gendut, kekayaan sejati bukanlah emas, tapi hati yang damai dan hidup yang berguna.
“Dan setiap malam, sebelum tidur, ia selalu tersenyum kecil, mengingat hari itu — saat ia menangis dalam pelukan emas, bukan karena harta, tapi karena ia tahu: ia telah menang. Bukan melawan orang lain. Tapi melawan keraguan, kemiskinan, dan ejekan yang selama ini mencoba menjatuhkannya-Kisah nyata Petualangan selalu bersyukur
Penulis : Khairunan Domo